[iklan]

Lokasi Kirim - Surabaya, Gresik, Sidoarjo

63: Pagi Pak, mohon info lokasi ya Pak

ma: Mengenai apa?

63: Bpk jualan apa di on line? Ada macam2 atau yg di FB aja?

ma: Lokasi mengenai apa?

Kusuma: Ada yg bisa kami bantu?

63: Bpk kan jualan, jd sy tanya brg nya dari mana di kirim nya, dari mana lokasi nya..takut nya di irian jaya kan mahal ongkir pak

ma: Kalau badan saya ada di Berbek, sekarang


Kalau barang yg saya jual, ada di beberapa gudang saya, di Romokalisari, di Wonoayu, di Krian, Sidoarjo, Waru, Gresik ...

63: đŸ˜€ soalnya sy pnh order dari FB..gak tahu nya dtg2 dari RRC..barang dtg lama, Spec gak sama , lah iya Krn ongkir nya dari RRC aja sdh mahal kan.

Repot nya FB ads itu suka gak nampilin lokasi outlet penjual, gitu loh Pak

ma: Oke.


Langsung saja sebutkan 


Ini mengenai apa?

ma: Begini contoh pertanyaan jika tanya tempat,


*Wiremesh yg ditawarkan ini, dikirim dari mana?*


(Langsung sebutkan produknya)

63: Ya sdh bingung saya gak blh bertanta versi customer.

Yg sy tahu sy terjun dg jaya steel, pasti nya tanya produk2 nya.

63: Terhubung dari fb

63: Atau mgkn bukan wa dari FB ads ini..nyasar

ma: Wiremesh ada di Gresik

ma: Besi beton ada di Romokalisari dan di Krian

63: Ok

ma: Lokasi saya biasanya di Blurukidul, Sidoarjo 

Sekarang di Berbek

ma: Beberapa waktu lalu saya  juga jual hp, barang ada di kemiri

ma: Saya juga jual rumah, 

Di Mojokerto dan Menganti

ma: Saya juga jual truk tangki, barang ada di Pacet

ma: Saya juga bantu teman saya menawarkan tempat pengajiannya di Suko, Sidoarjo

ma: Juga pengajian teman saya di Candi

ma: Saya ada gudang bajaringan di Suko, Sidoarjo

ma: Saya juga bantu jualkan makanan ringan milik adik saya, barang ada di Babatan, Sidoarjo

ma: Saya juga terkadang share jasa kurir milik adik saya, lokasinya di Sidoarjo kota 




TIPS MENGURANGI POTENSI KESALAHPAHAMAN PEMBACA

 TIPS MENGURANGI POTENSI KESALAHPAHAMAN PEMBACA

.

.

Salah satu cara yang harus dilakukan untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi potensi kesalahpahaman pembaca atas pesan yang disampaikan penulis, maka semua produk teks jurnalistik termasuk opini haruslah ditulis dengan kalimat efektif. Kalimat efektif adalah kalimat yang sesuai dengan pedoman ejaan bahasa, memiliki subjek dan predikat yang jelas, serta tidak bermakna ganda, sehingga pesan yang disampaikan penulis sama dengan yang diterima pembaca. Lantas, bagaimana cara mengetahui kalimat yang dibuat sudah efektif? Berikut beberapa tipsnya. Semoga dapat membantu.

.

PERTAMA, SEMUA KALIMAT YANG DITULIS HARUS SESUAI DENGAN PEDOMAN EJAAN BAHASA. Tulisan yang dibuat harus sesuai dengan pedoman ejaan bahasa jurnalistik yang digunakan media massa yang ditarget untuk memuat opini Anda. Bila media tersebut menggunakan bahasa Indonesia, maka naskah opini yang dikirim haruslah sesuai dengan pedoman umum ejaan bahasa Indonesia (PUEBI). Bila tidak, selain tulisannya menyalahi tata bahasa Indonesia, juga membuka peluang lebih besar untuk timbulnya kesalahpahaman di benak pembaca. 

.

Contohnya terkait huruf kapital (menggunakan atau tidak menggunakan huruf kapital) di awal kata dan spasi (dengan atau tanpa spasi) dalam frasa. Meskipun redaksi katanya sama, bila penggunaannya (huruf kapital dan spasi) berbeda, maknanya akan berbeda pula. Perhatikan perbedaannya pada ketiga contoh di bawah ini:

.

1. Kepala Budi dipalu terasa pusing.

2. Kepala Budi di Palu terasa pusing. 

3. Kepala Budi di palu terasa pusing.

.

Bila maksud penulis ‘kepala Budi terasa pusing karena dipukul menggunakan palu’, maka kalimat yang efektifnya adalah nomor satu (dipalu). Namun bila penulis menuliskannya menggunakan nomor dua (di Palu), maka kalimatnya menjadi tidak efektif. Karena, pembaca yang merujuk PUEBI akan mengira bahwa maksud penulis bukan ‘dipukul pakai palu’ tetapi ‘berada di Kota Palu’.

Sebaliknya, bila maksud penulis ‘kepala Budi pusing ketika berada di Kota Palu’, maka kalimat yang efektifnya adalah nomor dua (di Palu). Namun bila penulis menuliskannya menggunakan nomor satu (dipalu), maka kalimatnya menjadi tidak efektif. Karena, pembaca yang merujuk PUEBI akan mengira bahwa maksud penulis ‘bukan ketika berada di Kota Palu’ tetapi ‘dipukul pakai palu’.

.

Lantas bagaimana dengan contoh nomor tiga? Apa pun yang dimaksud penulis, dan apa pun pesan yang ditangkap pembaca, maka secara PUEBI, kalimat tersebut bermakna ‘kepala Budi terasa pusing ketika berada/menempel di palu (alat untuk memukul paku, bukan Kota Palu)’.

.

Kalimatnya benar-benar tidak efektif kan?  Bahkan maknanya tidak masuk akal! Palunya sebesar apa coba sehingga Budi bisa berada di palu? Kecuali Budi itu adalah nama makhluk yang lebih kecil dari palu. Misal, Budi itu nama semut. He… he…. Tapi kok tahu ya semutnya pusing? Nah, kan!

.

Maka harus dipahami perbedaan awalan di- dengan kata depan di.  Awalan di- merupakan imbuhan yang berfungsi untuk membuat kalimat menjadi pasif dan penulisannya digabung dengan kata benda atau kata kerja di depannya. Contoh: di- + palu = dipalu. Artinya: Dipukul pakai palu. 

.

Sedangkan, kata depan di berfungsi untuk menunjukkan keterangan tempat atau menunjukkan keterangan waktu. Penulisannya harus dipisah (pakai spasi) dengan kata di depannya. Contoh: di + palu = di palu. Artinya, berada pada palu atau menempel pada palu. Contoh lain: di + Palu = di Palu. Artinya, berada di Kota Palu. Karena, bila Palu itu nama tempat maka huruf awalnya harus pakai huruf kapital. Kalau palu itu nama benda/alat huruf awalnya jangan pakai huruf kapital. 

.

Lihat, itu baru salah satu contoh penggunaan huruf kapital dan penggunaan spasi. Maknanya sangat jauh sekali bukan? Belum lagi membahas contoh pedoman umum lainnya dalam ejaan bahasa Indonesia (EBI). Misal: pedoman memiringkan kata, penggunaan tanda baca, penggunaan tanda kutip ganda. Di sinilah relevansinya mengapa Anda harus menulis kalimat sesuai dengan PUEBI. Ayo, buka dan pelajari baik-baik PUEBI-nya ya.

.

KEDUA, MEMILIKI SUBJEK DAN PREDIKAT YANG JELAS. Bila subjeknya dan atau predikatnya tidak jelas, maka, kalimat yang dihasilkan tidaklah efektif. 

.

Contoh di atas (dipalu, di Palu, di palu), bisa juga jadi contoh penggunaan predikat yang tak jelas. Karena tak jelas apakah (dipalu, di Palu, di palu) tersebut sebagai predikat atau sebagai keterangan tempat. Bila maksudnya adalah predikat, maka yang benar menggunakan frasa: dipalu. Bila keterangan tempat maka yang benar menggunakan frasa: di palu, di Palu.   

.

Sedangkan contoh kalimat yang terkait subjek, salah satunya seperti tiga contoh di bawah ini. 

.

1. Perhatian! Yang membawa telepon seluler harap dimatikan sebelum shalat berjamaah.

2. Perhatian! Yang membawa telepon seluler harap mematikan telepon selulernya sebelum shalat berjamaah. 

3. Perhatian! Matikanlah telepon seluler Anda sebelum shalat berjamaah.

.

Meskipun penulisannya rancu sebagaimana contoh nomor satu, pastilah yang dimaksud penulis adalah telepon selulernya (objek) yang dimatikan (predikat), tetapi bila pembacanya mengacu kepada PUEBI, maka makna yang ditangkap adalah orang yang membawa telepon selulernya (subjek) yang dimatikan (predikat).  

.

Agar kalimatnya menjadi efektif maka harus jelas subjeknya berpredikat apa. Salah satunya seperti contoh nomor dua. Contoh nomor dua di atas jelas sekali maknanya yakni orang yang membawa telepon seluler (subjek) yang mematikan (predikat) telepon selulernya (objek). 

.

Bagaimana dengan contoh nomor tiga? Contoh nomor tiga ini unik, meski tak disebut secara tertulis subjeknya (orang yang mematikan ponsel), tetapi maknanya jelas sekali bahwa objek (telepon seluler Anda) yang dimatikan (predikat). Jadi, walau subjeknya tak disebut tetapi tetap tergolong kalimat efektif karena jelas objek yang diperlakukan (predikat) oleh subjek itu adalah ponsel. Karena fokus bahasannya pada ponsel (objek) yang harus dimatikan (predikat), tak jadi masalah bila subjeknya tak disebut. 

.

Lebih dari itu, contoh nomor tiga juga termasuk kalimat efesien. Mengapa dikatakan efesien? Karena mampu mengurangi kata bahkan frasa tanpa mengurangi keefektifannya. Dalam kasus contoh tersebut mampu menghilangkan frasa subjek (Yang membawa telepon seluler) tanpa mengubah pesan yang disampaikan (mematikan ponsel).  

.

KETIGA, TIDAK BERMAKNA GANDA. Kalimat yang ambigu (bermakna ganda) tentu saja berpeluang besar membuat kalimat tidak efektif alias makna yang dimaksud penulis bisa berbeda sama sekali dengan makna yang ditangkap pembaca. 

.

Contoh pembahasan tentang predikat (dipalu, di Palu, di palu). Misal: Kepala Budi di palu terasa pusing. Maknanya apa sih? Mestilah ada yang memaknai (1) dipukul pakai palu, (2) ketika berada di Kota Palu, bahkan bila konsisten terhadap PUEBI maka kalimat tersebut jadi tidak masuk akal karena mana mungkin manusia yang bernama Budi (3) berada di palu (alat untuk memukul palu)? Tapi masuk akal juga sih, bila palunya adalah palu raksasa. Ha…ha…  

.

Contoh ambigu lainnya seperti pada ketidakjelasan subjek pada kalimat: Yang membawa telepon seluler harap dimatikan sebelum shalat berjamaah. Karena yang dimatikan itu ada dua kemungkinan yakni (1) orang yang membawa ponsel, atau (2) ponselnya.

.

Demikianlah tipsnya. Semoga dapat membantu Anda bisa membedakan kalimat efektif versus tidak efektif. Dengan demikian Anda bisa menulis dengan kalimat efektif sehingga dapat menghilangkan atau setidaknya mengurangi secara signifikan potensi munculnya kesalahpahaman dari pembaca. Aamiin.[]

.

Depok, 26 Syawal 1443 H | 27 Mei 2022 M

.

.

Joko Prasetyo

Jurnalis 





senang narasi "zero-to-hero"

 *NARASI ZERO TO HERO*


(c) R Andika Putra Dwijayanto 


Sepertinya orang Indonesia itu banyak yang senang dengan narasi "zero-to-hero." Orang biasa saja, di luar entitas resmi, menemukan sesuatu yang dianggap luar biasa, lalu digembar-gemborkan oleh media dan netijen yang maha budiman. Meski realita penemuannya itu biasa saja bahkan bukan sesuatu yang baru sama sekali, tetap saja dielu-elukan oleh masyarakat bahkan secara berlebihan.


Lebih buruk lagi, akademisi, intelektual, dan peneliti beneran yang meluruskan so-called penemuan tersebut malah mendapat backlash. Diserang balik, dikata-katai, direndahkan, seolah mereka itu orang bodoh dan tidak punya kontribusi apa-apa. Pembelaan mati-matian pada sosok "hero" dan menganggap siapa pun yang mengkritik "hero" mereka sebagai "villain" yang wajib dihancurkan.


Narasi "zero-to-hero" ini sebenarnya berbahaya, karena mendistorsi realitas fisis produk saintek hanya karena sentimen emosional belaka. Jadinya benar-salahnya, terbukti-tidaknya, suatu penemuan saintek itu bukan lagi dinilai pada pembuktian riil berbasis keilmuan, melainkan pada sentimen emosional. 


Sepertinya ini terjadi karena beberapa hal,


1. Rendahnya literasi saintek masyarakat,

2. Hausnya masyarakat akan prestasi anak bangsa,

3. Ketidaksukaan terpendam masyarakat terhadap establishment yang dianggap tidak pernah melakukan apa-apa,

4. Minimnya sesuatu yang bisa mereka banggakan,

5. Tiadanya entitas yang bisa mereka kagumi,

6. Terpisahnya sektor riset saintek dengan masyarakat (menara gading),

7. (ada lagi?)


Yang jelas ini berarti ada masalah besar dalam dunia riset saintek Indonesia. Karena apa yang dikerjakan para Periset tidak mampu dilihat oleh masyarakat dan (dianggap) tidak mampu menghasilkan penemuan yang "mengguncang dunia persilatan."


Apakah ini salah Periset dan lembaganya? Belum tentu. Sebab masalahnya kompleks, mulai dari atas (pemerintah selaku pemberi dana), tengah (lembaga riset yang melaksanakan), hingga bawah (masyarakat selaku pengamat dan penerima). Kalau dari pemerintahnya sendiri tidak peduli pada riset, kedaulatan teknologi, penguasaan teknologi mulai dari hulu, cuma peduli pada teknologi siap pakai dan hasil instan, mau seberapa besar dana yang mereka kucurkan ke lembaga riset?


Kalau dari lembaga riset tidak mendapat dana yang cukup dari pemerintah, harus mengemis dana dari luar, dibebani birokrasi berbelit (yang makin sini makin menyusahkan), penghasilan tidak sesuai tuntutan, beban tuntutan luaran banyak tapi jaminan anggaran tidak ada, arah riset yang tidak jelas, lantas hasil luaran seperti apa yang bisa diharapkan?


Kalau masyarakatnya tidak melek saintek, literasinya buruk, tidak paham metode ilmiah, pendidikannya pas-pasan, sistem pendidikan tidak membentuk lulusan yang literat, penguasa yang mereka lihat pun tidak menunjukkan kepahaman terhadap perkara saintek, maka bagaimana ceritanya masyarakat bisa cerdas dalam menyikapi berbagai info terkait saintek?


Penemuan dalam bidang saintek bukan monopoli suatu pihak. Siapa saja bisa menemukannya. Tinggal apakah penemuan tersebut benar-benar mampu berfungsi dengan baik dan benar atau tidak, sesungguhnya itu bisa dinilai secara objektif menggunakan prinsip-prinsip ilmiah. Sentimen-sentimen emosional tidak memiliki nilai dalam penentuan sebuah penemuan itu bagus atau tidak. Tapi selama masalah-masalah sistemik di atas belum diatasi, agaknya narasi "zero-to-hero" masih akan menghiasi layar kaca dan layar ponsel masyarakat. Perlu upaya sistemik dan mendasar supaya dunia riset Indonesia bisa benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik dan ada hasil yang sungguh-sungguh bisa dirasakan manfaatnya. 




Catatan Sementara

 
© - Catatan Afandi Kusuma | Buku.suwur | Furniture.Omasae | JayaSteel | OmaSae | Alat Pesta + Wedding | Galvalum | DepoAirIsiUlang | Seluruh Arsip