[iklan]

senang narasi "zero-to-hero"

 *NARASI ZERO TO HERO*


(c) R Andika Putra Dwijayanto 


Sepertinya orang Indonesia itu banyak yang senang dengan narasi "zero-to-hero." Orang biasa saja, di luar entitas resmi, menemukan sesuatu yang dianggap luar biasa, lalu digembar-gemborkan oleh media dan netijen yang maha budiman. Meski realita penemuannya itu biasa saja bahkan bukan sesuatu yang baru sama sekali, tetap saja dielu-elukan oleh masyarakat bahkan secara berlebihan.


Lebih buruk lagi, akademisi, intelektual, dan peneliti beneran yang meluruskan so-called penemuan tersebut malah mendapat backlash. Diserang balik, dikata-katai, direndahkan, seolah mereka itu orang bodoh dan tidak punya kontribusi apa-apa. Pembelaan mati-matian pada sosok "hero" dan menganggap siapa pun yang mengkritik "hero" mereka sebagai "villain" yang wajib dihancurkan.


Narasi "zero-to-hero" ini sebenarnya berbahaya, karena mendistorsi realitas fisis produk saintek hanya karena sentimen emosional belaka. Jadinya benar-salahnya, terbukti-tidaknya, suatu penemuan saintek itu bukan lagi dinilai pada pembuktian riil berbasis keilmuan, melainkan pada sentimen emosional. 


Sepertinya ini terjadi karena beberapa hal,


1. Rendahnya literasi saintek masyarakat,

2. Hausnya masyarakat akan prestasi anak bangsa,

3. Ketidaksukaan terpendam masyarakat terhadap establishment yang dianggap tidak pernah melakukan apa-apa,

4. Minimnya sesuatu yang bisa mereka banggakan,

5. Tiadanya entitas yang bisa mereka kagumi,

6. Terpisahnya sektor riset saintek dengan masyarakat (menara gading),

7. (ada lagi?)


Yang jelas ini berarti ada masalah besar dalam dunia riset saintek Indonesia. Karena apa yang dikerjakan para Periset tidak mampu dilihat oleh masyarakat dan (dianggap) tidak mampu menghasilkan penemuan yang "mengguncang dunia persilatan."


Apakah ini salah Periset dan lembaganya? Belum tentu. Sebab masalahnya kompleks, mulai dari atas (pemerintah selaku pemberi dana), tengah (lembaga riset yang melaksanakan), hingga bawah (masyarakat selaku pengamat dan penerima). Kalau dari pemerintahnya sendiri tidak peduli pada riset, kedaulatan teknologi, penguasaan teknologi mulai dari hulu, cuma peduli pada teknologi siap pakai dan hasil instan, mau seberapa besar dana yang mereka kucurkan ke lembaga riset?


Kalau dari lembaga riset tidak mendapat dana yang cukup dari pemerintah, harus mengemis dana dari luar, dibebani birokrasi berbelit (yang makin sini makin menyusahkan), penghasilan tidak sesuai tuntutan, beban tuntutan luaran banyak tapi jaminan anggaran tidak ada, arah riset yang tidak jelas, lantas hasil luaran seperti apa yang bisa diharapkan?


Kalau masyarakatnya tidak melek saintek, literasinya buruk, tidak paham metode ilmiah, pendidikannya pas-pasan, sistem pendidikan tidak membentuk lulusan yang literat, penguasa yang mereka lihat pun tidak menunjukkan kepahaman terhadap perkara saintek, maka bagaimana ceritanya masyarakat bisa cerdas dalam menyikapi berbagai info terkait saintek?


Penemuan dalam bidang saintek bukan monopoli suatu pihak. Siapa saja bisa menemukannya. Tinggal apakah penemuan tersebut benar-benar mampu berfungsi dengan baik dan benar atau tidak, sesungguhnya itu bisa dinilai secara objektif menggunakan prinsip-prinsip ilmiah. Sentimen-sentimen emosional tidak memiliki nilai dalam penentuan sebuah penemuan itu bagus atau tidak. Tapi selama masalah-masalah sistemik di atas belum diatasi, agaknya narasi "zero-to-hero" masih akan menghiasi layar kaca dan layar ponsel masyarakat. Perlu upaya sistemik dan mendasar supaya dunia riset Indonesia bisa benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik dan ada hasil yang sungguh-sungguh bisa dirasakan manfaatnya. 




0 comments:

Posting Komentar

Catatan Sementara

 
© - Catatan Afandi Kusuma | Buku.suwur | Furniture.Omasae | JayaSteel | OmaSae | Alat Pesta + Wedding | Galvalum | DepoAirIsiUlang | Seluruh Arsip