ISLAM
KAFFAH
Islam
adalah agama yang syâmil (meliputi segala sesuatu) dan kâmil
(sempurna). Sebagai agama yang syâmil, Islam menjelaskan semua hal dan
mengatur segala perkara: akidah, ibadah, akhlak, makanan, pakaian, mumamalah,
uqûbât (sanksi hukum), dll. Tak ada satu perkara pun yang luput dari pengaturan
Islam. Hal ini Allah SWT tegaskan di dalam al-Quran:
)وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا
لِكُلِّ شَيْءٍ(
Kami telah menurunkan kepada kamu
al-Quran sebagai penjelas segala sesuatu (TQS an-Nahl [16]: 89).
Islam
sekaligus merupakan agama yang kâmil (sempurna), yang tidak sedikit pun
memiliki kekurangan. Hal ini Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya:
)الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا(
Pada hari ini Aku telah
menyempurnakan untuk kalian agama kalian (Islam), telah melengkapi atas kalian
nikmat-Ku dan telah meridhai Islam sebagai agama bagi kalian (TQS
al-Maidah [5]: 3).
Karena
itu, tentu sebuah kelancangan jika kita menganggap ada hal-hal yang tidak
diatur oleh Islam. Misal, ada yang berpendapat bahwa Islam tidak mengatur
urusan negara, apalagi menentukan sistem dan bentuk negara bagi kaum Muslim.
Alasannya, karena tidak ada perintahnya secara tekstual di dalam al-Quran.
Pendapat demikian tentu berasal dari cara berpikir yang dangkal. Sebab, jika
alasannya semata-mata tekstualitas nash, betapa banyak ajaran dan hukum
Islam yang tidak secara tekstual dinyatakan oleh nash al-Quran, tetapi
dijelaskan oleh as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas Syari. Contoh: Al-Quran
secara tekstual hanya memerintahkan shalat, tetapi tidak menjelaskan syarat dan
rukunnya, termasuk waktu-waktunya. Ketentuan rinci tentang shalat dijelaskan
oleh as-Sunnah. Contoh lain: Al-Quran secara tekstual menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba, tetapi tidak menjelaskan syarat-syarat dan rukun jual-beli,
macam-macam akad ribawi serta ketentuan rinci lainnya. Ketentuan rinci tentang
jual-beli dan riba dijelaskan oleh as-Sunnah atau Ijmak Sahabat.
Demikian
pula terkait pengurusan negara. Al-Quran memang tidak secara tegas (tekstual)
menentukan sistem dan bentuk negara. Namun, ketentuan tentang sistem dan bentuk
negara dijelaskan oleh banyak nash as-Sunnah atau ditegaskan oleh Ijmak
Sahabat. Hal demikian amat mudah dipahami oleh mereka yang memahami ijtihad dan
tentu akan gagal dipahami oleh mereka yang tidak mengerti ijtihad.
Keharusan Mengamalkan Islam Secara
Kâffah
Totalitas
dan kesempurnaan Islam tentu tidak akan tampak kecuali jika kaum Muslim
mengamalkan Islam secara kâffah (total) dalam seluruh segi kehidupan. Inilah
yang Allah SWT perintahkan secara tegas dalam al-Quran:
)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ(
Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian
mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS
al-Baqarah [2]: 208).
Sabâb
an-nuzûl ayat ini menurut Imam al-Baghawi berkaitan dengan masuk
Islamnya seorang Ahlul Kitab Yahudi Bani Nadhir bernama Abdulah bin Salam dan
teman-temannya. Namun, setelah memeluk Islam ia tetap menganggap mulia hari
Sabtu dan tidak mau memakan daging unta. Mereka pun menyatakan, “Wahai
Rasulullah, bukankah Taurat itu adalah Kitabullah? Karena itu izinkanlah kami
tetap membaca Taurat itu dalam shalat-shalat malam kami.” Lalu turunlah
turunlah ayat ini sebagai jawaban (Tafsir al-Baghawi, I/240).
Terkait
kata kâffah dalam ayat di atas ada dua pendapat. Pertama: menurut Imam
an-Nasafi, kata kâffah adalah hâl (penjelasan keadaan) dari dhamir
(kata ganti) pada frasa udkhulû (masuklah kalian) yang bermakna jamîan
(menyeluruh/semua kaum Mukmin). Artinya, ayat ini ditujukan untuk semua kaum
Mukmin (Lihat: An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, I/112). Kedua: Menurut Imam
Qurthubi, kata kâffah berfungsi sebagai hâl (penjelasan keadaan)
dari kata al-silmi (Islam) (Tafsir al-Qurthubi, III/18). Artinya,
melalui ayat ini Allah SWT menuntut orang-orang yang masuk Islam untuk masuk ke
dalam Islam secara keseluruhan (total). Mereka tidak boleh memilih-milih maupun
memilah-milah sebagian hukum Islam untuk tidak diamalkan. Pemahaman ini
diperkuat dengan sabâb an-nuzûl ini—sebagaimana diterangkan di atas—yang
menolak dispensasi beberapa orang Yahudi ketika hendak masuk Islam untuk
mengamalkan sebagian isi Taurat. Menurut Imam ath-Thabari, dalam ayat ini kaum
Mukmin diseru untuk menolak semua hal yang bukan dari hukum Islam; melaksanakan
seluruh syariah Islam; dan menjauhkan diri dari upaya-upaya untuk melenyapkan
sesuatu yang merupakan bagian dari hukum-hukum Islam (Tafsîr ath-Thabari,
II/337).
Saat
menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan, “Allah SWT menyeru
para hamba-Nya yang mengimani-Nya serta membenarkan Rasul-Nya untuk mengambil
seluruh ajaran dan syariah Islam; melaksanakan seluruh perintah-Nya dan
meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuan mereka.” (Ibn Katsir,
1/335).
Karena
itulah, menurut Syaikh Mahmud Syaltut, Islam menuntut menyatunya syariah dengan
akidah; masing-masing tidak bisa dipisahkan. Akidah adalah dasar yang
memancarkan syariah, sementara syariah merupakan wujud nyata yang lahir dari
akidah. Dengan kata lain akidah adalah fondasi, sedangkan syariah adalah
bangunan yang berdiri di atasnya. Karena itu akidah tanpa syariah bagaikan
fondasi tanpa wujud bangunan sehingga abstrak dan sulit diukur. Sebaliknya,
bangunan tanpa fondasi juga tidak mungkin karena ia akan runtuh. Karena itu
pula para ulama menyatakan, bahwa keimanan adalah aspek batiniah, sedangkan
syariah adalah aspek lahiriah (Al-Kirmani, Jawâhir al-Bukhâri, hlm. 39).
Dengan
demikian Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, yang meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu pun persoalan yang tidak dipecahkan
oleh Islam sehingga masih kabur atau tidak jelas status hukumnya. Demikian
sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw.:
«قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ
لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ»
Aku telah meninggalkan kalian dalam
keadaan yang terang-benderang, malamnya bagaikan siang harinya. Setelahku tidak
akan ada yang tersesat kecuali orang yang celaka (HR
Ahmad).
Karena
itu, kaum Muslim diperintahkan untuk hanya melaksanakan seluruh syariah yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Tak sepatutnya kaum Muslim mempraktikkan
aturan-aturan lain yang bersumber dari Barat yang diajarkan oleh Motesquie,
Thomas Hobbes, John Locke, dll yang melahirkan sistem politik demokrasi; atau
yang diajarkan John Maynard Keynes, David Ricardo, dll yang melahirkan sistem
ekonomi kapitalisme.
Dengan
demikian haram bagi kaum Muslim untuk mengingkari atau mencampakkan sebagian
syariah Islam dari realitas kehidupan dengan mengikuti prinsip sekularime
(memisahkan agama dari kehidupan) sebagaimana yang dipraktikkan oleh negara
saat ini. Allah SWT dengan tegas mengecam sikap semacam ini:
)أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ
بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ
بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ(
Apakah kalian mengimani sebagian
al-Kitab serta mengingkari sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang
berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan
pada Hari Kiamat nanti mereka akan dilemparkan ke dalam siksa yang amat keras.
Allah tidaklah lalai atas apa saja yang kalian kerjakan (TQS
al-Baqarah [2]: 85).
Tak Boleh Berdiam Diri
Sayang,
apa yang dikecam oleh Allah SWT dalam ayat di atas justru dipraktikkan dengan
sempurna oleh kaum Muslim hari ini, khususnya oleh negara (penguasa). Bukan
hanya sebagian, bahkan sebagian besar hukum Islam dicampakkan. Sebaliknya, yang
diterapkan pada sebagian besar aspek kehidupan kita adalah aturan-aturan
sekular yang bersumber dari Barat, baik sistem politik demokrasi, sistem
ekonomi kapitalisme, sistem hukum/peradilan warisan penjajah Belanda, dll. Jelas,
ini adalah kemungkaran yang amat besar. Siapapun yang mengaku Mukmin tak layak
berdiam diri menyaksikan kemungkaran ini. Sebabnya, Rasulullah saw. tegas
bersabda:
«مَن رَأى مِنكُمْ مُنكَرًا فَليُغَيِّرْهُ
بِيَدِه فَاِن لَم يَسْتطِعْ فَبِلِسانِه فَانْ لَمْ يَسْتطِعْ فَبِقَلبِهِ وَذَلِكَ
اَضْعَفُ الايْمَانِ»
Siapa saja di antara kalian yang
menyaksikan kemungkaran, hendaknya ia mengubah kemungkaran itu dengan tangan
(kekuasaan)-nya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan
hatinya dan yang demikian adalah selemah-lemahnya iman (HR
al-Bukhari).
Pertanyaannya:
Apakah kita cukup puas dengan hanya memiliki selemah-lemah iman karena kita
hanya sanggup mengubah kemungkaran dengan hati atau berdiam diri saja?! []
Box Hikmah
«إِنَّ شَرَّ الوُلاَةِ الحُطَمَةُ»
Sungguh
seburuk-buruknya para penguasa adalah para diktator. (HR
al-Bazzar).
«يَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ فَمَنْ
دَخَلَ عَلَيْهِمْ وَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ
مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ يَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ»
Akan ada
sepeninggal aku nanti parta pemimpin. Siapa saja yang menemui mereka, lalu
membenarkan kedustaan mereka, dan membantu mereka dalam kezaliman mereka, maka
dia bukan bagian dariku; aku pun bukan bagian dari diri dia; dan dia tidak akan
berjumpa denganku di telaga surga. (HR at-Tirmidzi).
Buletin KAFFAH semua edisi dilihat DISINI