Seperti biasa kami memasang jaring dan membiarkan sampai berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan di pinggir sungai, di muara anak sungai, atau di muara saluran ke tambak. Setiap pagi dan sore kami tinggal mengambil ikan yang tertangkap dan membersihkan dari sampah yang ikut terperangkap, juga dari binatang lain yang tidak kami kehendaki misalnya ular, atau biawak kecil. Ikan yang tertangkap, ada jenis keting, mujaer, sembilang, dukang, bloso, gabus, atau betik. Terkadang juga udang besar atau kepiting. Kami senang melakukan rutinitas itu. Dan saat ini terkadang aku rindu kegiatan itu, dan ingin sesekali melakukannya lagi, namun sayang di tempat kami sekarang tidak banyak ikan seperti dulu.
Ada puluhan jaring yang kami pasang, dan saat itu sudah memberikan hasil yang lumayan untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Meski untuk memenuhi kebutuhan keluarga, penghasilan bapakku sudah cukup, namun kami senang tetap membantu dan mendapatkan hasil. Permainan yang sangat menghibur, menyusuri sungai yang elok, lalu mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Kami juga mendapatkan gizi yang baik dari ikan segar yang kami dapatkan tiap hari. Ikan segar, yang masih meloncat-loncat saat dibersihkan, untuk segera dimasak. Bahan makanan yang mahal yang tidak mudah kami dapatkan saat ini.
Pagi itu hari Jumat. Hari libur bagi kelas ku, karena sekolah sedang digunakan untuk pengenalan siswa baru. Sedang asyik mengayuh dayung sambil mengikuti arus air yang sedang pasang. Sambil bekerja yang bagi kami adalah permainan itu, bersama ibuku main tebak-tebakan. Sambil tersenyum dan sesekali tertawa, kami menikmati kebersamaan itu. Tiba-tiba ada yang memanggilku. Dari atas jembatan yang baru saja kami lalui. Adikku. Dia bersama pak guru. Guru agama. “Ada apa ya?” pikirku.
Tanpa kata-kata, aku yang duduk di bagian belakang perahu yang mengemudikan perahu itu, langsung menepikan perahu ke pinggir sungai. Adikku berlari menuju kami.
“Dipanggil Pak Guru!” teriak adikku saat sudah dekat.
“Ada apa?” tanyaku singkat.
“Ada tugas. Aku yang gantikan.” Adikku langsung melompat ke perahu, aku serahkan dayung yang aku pegang, lalu dengan berpegangan pada pohon yang ada dipinggir sungai aku naik.
Segera aku menghampiri Pak Guru. “Ada apa Pak?”
“Tadi aku ke rumahmu. Lalu aku tahu kamu ada di sekitar sini. Aku ajak adikmu untuk menggantikan kamu. Nanti kamu jadi khotib ya” Pak Guru menjelaskan.
Tanpa banyak bicara, aku langsung naik di motor pak Guru.
Wah, jadi khotib Jumat, tanpa persiapan, hanya tinggal beberapa jam. Di jalan aku terus memutar otak, materi apa yang bisa disampaikan nanti.
Oleh Pak guru, aku diantar pulang untuk mandi dan ganti pakaian seragam sekolah. Untung ada buku yang berisi contoh-contoh kutbah Jumat. Dan masalahnya, itu adalah buku milik bapakku, menggunakan bahasa Jawa. Masak di sekolah khotbah menggunakan bahasa Jawa. Bisa tertawa semua nanti.
Segera aku salin salah satu materi khotbah. Aku terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan menulisnya di kertas. Sedangkan bagian yang bahasa Arab aku lepas, lalu aku gabung bersama tulisanku.
Alhamdulillah, hari itu jumatan di sekolah berjalan dengan lancar. Pak Guru sempat menanyakan materi yang aku sampaikan dan beliau minta, katanya untuk khotib lain di kesempatan yang lain. Hah, terjemahan singkat yang aku buat ternyata membuat Pak Guru tertarik. Memang materi ceramah bahasa Jawa sering mengandung nilai yang bagus.
Halo adik-adik kelasku yang saat itu mengikuti sholat jumat. Mungkin kalian tidak tahu, hari itu aku dijemput ‘paksa’ oleh Pak Guru Agama dari pekerjaanku sebagai nelayan, mencari ikan bersama ibuku. Untung adikku bisa menggantikan aku saat itu. Untung ada kitab tua bahasa Jawa sehingga gerogiku tertutupi oleh materi yang bagus, jiplakan dari kitab itu.
Alhamdulillah, sepulang dari sekolah yang seharusnya hari itu aku libur, aku mendapati ibu dan adikku baru saja menjual ikan dalam jumlah cukup banyak. Cukup untuk kebutuhan beberapa hari ke depan.
Siang itu aku juga makan ikan keting dimasak kelo asem (asem-asem). Ibuku sengaja memilih yang paling besar untuk aku, yang ada telurnya. Terima kasih. Ibu.
0 comments:
Posting Komentar